Catatan Mahasiswa Semester Akhir #6: We all have our own monsters inside us, anyways

We all have our own monsters inside us, anyways.



Sejak sekolah dasar, aku suka sekali membaca buku. Aku sering meminjam buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah: Kecil-Kecil Punya Karya, Goosebumps, dan novel Indonesia lainnya. Saat acara wisuda SD, aku maju kedepan karena mendapatkan penghargaan peminjam buku terbanyak se-angkatan. hahah. Hobi tersebut aku lanjutkan hingga SMA. Aku sering membaca novel dalam sekali duduk, atau paling lama dua-tiga hari, saking asyiknya. Mungkin karena aku anak rumahan yang ngga dibolehin main ke luar dan juga aku belum punya smartphone hingga kelas 12 SMA. Saat itu, bagiku buku adalah hiburan satu-satunya.

Barangkali waktu sekolah dulu adalah saat terlakhir aku membaca novel. Sewaktu kuliah rasa-rasanya tidak ada novel baru yang aku baca. Aku hanya merelakan membeli buku-buku non-fiksi yang aku rasa ada manfaatnya. Aku bahkan belum pernah membeli novel baru yang ori hingga saat ini. But thanks to one of my friend, dia membelikanku satu set seri salah satu novel favoritku saat SMP. Dan pada saat itulah, aku menyadari sesuatu. Novel juga ada manfaatnya, selayaknya buku non-fiksi Aku jadi menyesal selama 4 tahun ini tidak membaca karya-karya sastra ini. Akhirnya aku mulai membaca cerita fiksi lainnya.

Sebuah cerita fiksi, seperti novel, film dan cerpen dirasa memang tidak akan memberikan pengetahuan baru selayaknya buku-buku non-fiksi yang bertumpuk di lemari kamar pondokku. Tetapi setelah aku rasakan lagi, ummm... Entahlah, aku bingung cara mendiskripsikannya. Intinya cerita-cerita fiksi ini memberikan perasaan baru, menumbuhkan rasa manusiawi, menumbukan perspektif dari kacamata orang lain. Mungkin aku harus menuliskan salah satu cerita fiksi yang baru aku baca disini.

Dari cerita tersebut, aku benar-benar kagum bagaimana tokoh utama sangat berpikiran positif terhadap orang lain. Dia menumbuhkan persahabatan dengan 4 orang temannya yang baru dia temui selama beberapa hari di asrama. Salah satu dari mereka benar-benar so called nakal hahah. Dia berkata kasar, jahil, dan sering berbuat onar. Kehadiran tokoh utama justru dapat mengubah karakternya. Pada akhirnya dengan dia lah si tokoh utama paling dekat. Macam kakak-beradik. Di asrama tersebut, tentu tidak hanya mereka berlima yang tinggal, terdapat bocah lain yang memusuhi si tokoh utama. Dia sangat menyebalkan dan sering mengganggu. Tapi si tokoh utama selalu berusaha untuk mendekatinya dan berteman dengannya, meski keempat sahabatnya selalu mengingatkan bahwa itu hal yang mustahil. Hingga pada suatu saat, bocah tersebut merusak barang paling berharga si tokoh utama. Si tokoh utama hanya diam, dia benar-benar kecewa namun dia tidak marah. Dia memutuskan untuk menyendiri sejenak di dermaga yang jarang sekali orang kesana. Momen tersebut bagiku adalah momen paling berkesan. Bocah yang nakal itu akhirnya diingatkan dengan keras oleh kedua temannya yang biasanya mendukungnya, tingkahnya sudah kelewatan. Dari konflik tiga kawanan itu, si bocah akhirnya memilih menyendiri, di dermaga. Di malam itu, si tokoh utama dan si bocah tersebut terkaget karena saling bertemu. Mereka yang jarang sekali berbicara dengan baik-baik akhirnya memiliki kesempatan untuk saling bercerita. Si tokoh utama tentu saja sangat kecewa dengan perlakuan bocah tersebut dengannya, dia berpikir seberapa bencinya si bocah hingga tega merusak barang paling berharga miliknya. Namun, memang dasar karakter si tokoh utama, dia memaafkannya. Si bocah bingung bagaimana mungkin si tokoh utama mau memaafkannya. Kemudian si tokoh utama berkata, "I still forgive you for what you did... We all have our own monsters inside us, anyways.". Semua orang punya monster dalam dirinya sendiri yang menyeramkan, memunculkan karakter buruk dari seseorang, yang karenanya kita berusaha untuk menaklukkannya, namun namanya juga monster, tidak mudah mengendalikannya. Bocah yang biasanya cool tersebut menangis. Dia akhirnya menceritakan mengapa dia bertindak seperti itu. Si tokoh utama paham dan membantunya menyelesaikan masalahnya. Dia selalu berusaha menempatkan diri di sepatu orang lain. Ya, pada akhirnya benar kata si tokoh utama,  semua orang punya monsternya sendiri-sendiri.

Aku berharap pernah membaca cerita ini lebih awal saat kuliah. Selama berkubang di dunia perkuliahan, aku menyadari bahwa aku belum bisa mengontrol monsterku. Monster tersebut sering sekali muncul dan memperlihatkan karakter burukku. Dinamika di organisasi menghasilkan banyak interaksi dengan orang lain yang tentu saja menimbuklan gesekan-gesekan. Pada dasarnya, respon kita terhadap gesekan tersebut bisa beraneka macam, bisa positif bisa negatif. Namun, untuk kasusku, aku menyadari bahwa aku lebih sering meresponnya dengan negatif: marah, kesal, menyalahkan orang lain, merasa orang lain tidak kompeten. Dengan kapala yang keras, aku selalu merasa bahwa respon yang aku berikan ada benarnya, dan orang lain salah. Saat itu tidak ada peringatan keras oleh kedua teman yang biasanya mendukung selayaknya si bocah, sehingga aku baru bisa menyadarinya setelah beberapa waktu: ada respon alternatif yang bisa aku pilih selain marah dan kesal.

Ya, barangkali ini adalah salah satu pembelajaranku untuk mengenal diri sendiri. Seorang sahabat sejati yang tidak akan pernah pergi, yang aku akan berkawan selamanya dengannya. Kalau boleh berkeinginan, aku ingin memiliki karakter seperti tokoh utama, dengan optimisme dan selalu berpikiran positif terhadap orang lain.

Komentar