Catatan Mahasiswa Semester Akhir #7: Balapan dan Akal-Akalan Orang Perfeksionis

Balapan dan Akal-Akalan Orang Perfeksionis




Anak muda zaman sekarang tumbuh dan belajar di era kebisingan media sosial. Platform yang satu ini barangkali bisa disebut sebagai amplifier bagi pendapat dan opini orang-orang. Kita terus mendengar pandangan orang-orang, yang bahkan kita tidak memintanya. Tidak semua postingan motivasi baik untuk diri sendiri. Menurutku, banyak hal di dunia ini yang sangat personal, termasuk saran, masukan, motivasi, dan dorongan. Semua harus disesuaikan denga konteks personal dan latar belakang masing-masing individu. Postingan orang-orang di media sosial lebih banyak yang sama sekali tidak relate dengan diriku dibandingkan yang relate. Fafifu mereka bagiku adalah omong kosong, kecuali mereka hidup dengan kuliah di PTN ambis dan mondok hhh.Tapi, mau dikata apa, itu juga hak mereka, kebebasan berpendapat. Aku sendiri lebih memilih untuk mengontrol apa yang memang bisa aku kontrol: membisukan akun-akun instagram teman-temanku hahah.

Katanya, hidup harus begini dan begitu, bahagia adalah begini dan begitu, sukses adalah seperti ini dan seperti itu. Ya itu menurut lo aja kali hahah. Tiap orang memiliki definisi subjektif terhadap kata-kata tersebut. Mendengar opini orang lain yang tidak diinginkan kadang mendistrak diri sendiri, bikin bingung diri sendiri, ngeraguin diri sendiri. Ngga harus kok umur 25 tahun punya tabungan 100 juta atau udah punya rumah. Ngga harus kok umur 22 udah lulus sarjana. Ngga ada yang ngelarang kok lanjut S2 karena ngga tau aja habis lulus strata satu mau ngapain. Dan lainnya. Banyak hal yang ngga ideal di dunia ini. Kecuali semua orang lahir dari juragan tambang atau keluarga kyai yang keturunannya ketumpahan berkah pendahulunya. Kan ya ndak gitu lah ya. Setiap orang lahir dengan kondisi mereka masing-masing, dengan latar belakang mereka masing-masing. Ngga ada alat ukur berstandar internasional untuk pengalaman personal anak manusia.

Setiap individu memiliki definisi yang sangat personal terhadap kata sukses, bahagia, berhasil dan lainnya. Bagiku, seperti pada seri CMSA bagian Mimpi dan Harap, sukses untuk konteksku saat ini adalah ketika aku bisa belajar ngaji dengan serius sampai bisa membaca kitab kuning. Sebuah definisi  yang sangat absurd bagi seorang mahasiswa semester 9 dari sebuah perguruan tinggi top di negeri ini. Barangkali bagi orang umum, definisi sukses yang seharusnya adalah lulus dengan predikat cumlaude dan masuk ke perusahaan multinasional. Akan banyak orang tidak setuju jika aku menyebarkannya di media sosial dan memaksakan orang lain mendengar pendapatku (yang engga mereka minta). Ya, seperti itulah misalnya. Emang dah, tidak tepat membagikan sesuatu yang terlalu personal di media sosial yang hanya memuat beberapa kalimat. Kecuali emang sengaja memancing keributan.

Soal umur ngga ada yang tahu apa yang akan dan harus terjadi. Ngga ada penggaris yang ideal untuk ngukur umur segini harus ngapain, umur segitu harus ngapain. Harus, harus dan harus itu cuma akal-akalan orang perfeksionis, biar mereka ngga sendirian ngejar egonya. Aku mengenal beberapa kawan yang lebih senior dengan segala ceritanya. Salah satu kating paling aku kagumi di UKM ku adalah seorang mahasiswa fisipol UGM yang baru lulus di tahun ke 7 perkuliahannya, sebuah progress yang so called kegagalan bagi orang perfeksionis. Tapi siapa anak UGM terutama fisipol generasi 2014-2017 yang ngga mengenal mas yang satu ini, dia sering ngisi acara tentang kepemudaan dan aktivisme. Rekam jejaknya selama di dunia perkuliahan diakui oleh banyak pihak, meski kuliahnya lama, belum lagi sebenarnya blio berasal dari SMK dan sempat gap year. Skripsinya dilirik oleh salah satu penerbit Yogyakarta untuk dibukukan. Blio juga sudah menerjemahkan salah satu buku luar. Barangkali usianya sudah menginjak 25 tahun, 100 juta belum punya, bahkan blio berpenampilan sangat sederhana sebagai anak seorang petani di salah satu kabupaten di Yogyakarta. Definisi kesuksesan bagi masnya sangat berbeda dengan apa yang orang lain percayai.

Katanya, idealnya begini dan begitu, idealnya kalau memang mau jadi akademisi mending lulus strata satu tiga setengah tahun dan langsung lanjut strata dua di luar negeri, biar waktunya efektif. Tapi sebenarnya apa sih yang lagi dikejar, kawan? Emang lagi balapan sama siapa sehingga harus berlari sebegitu kencangnya. Kalau memang bisa mengejar pencapaian tersebut, alangkah bagusnya. Tetapi menjadikannya sebuah idealisme dan keharusan bagiku adalah menghancurkan diri sendiri. Mari kita mulai tidak menggunakan kata idealnya dan harusnya. Dunia ini menarik karena banyak hal tidak ideal. Aku tahu seorang dosen yang strata satunya adalah fisika ITB, strata duanya masih fisika ITB, kemudian blio mengambil master lagi di luar negeri, jurusan metode kualitatif dan sosiologi, kemudian ditutup dengan PhD dibindang sosiologi komputasi. Tebak apa pekerjaan belio sekarang? Dosen psikologi di UI. Sebuah jalur yang membagongkan, bukan? Kalau dilihat, jalur pendidikan tidak linear seperti itu tidak masuk akal sama sekali. Tetapi bagiku hal tersebut yang membuat blio menjadi menarik. Aku ingin sekali menjadi mentee blio dan banyak belajar darinya.

Di era yang media sosialnya ribut dan ribet kayak sekarang, penyaringan saran dan masukan dari orang random kudu bener-bener dilakukan. Paling bener adalah mencari saran dan masukan dari orang terdekat, kawan, orang tua. Mereka lebih paham konteks, personal dan latar belakang diri kita. Mendengarkan saran dari orang random tidak lebih dari bikin bingung diri sendiri, biking goyah pendirian yang sudah susah-susah dibangun. Ngga mudah loh aku membangun definisi sukses adalah bisa mbaca kitab kuning ditengah-tengah keributan makna sukses bagi mahasiswa kampus biru yang serba angka, pencapaian dan ambisi pekerjaan.


Komentar