Catatan Mahasiswa Semester Akhir #9: We all have our own monsters inside us, anyways pt.2

 We all have our own monsters inside us, anyways pt.2





Banyaknya aktivitas di kampus ngebikin kita jadi punya banyak interaksi dengan orang lain. Melibatkan bermacam percakapan, rasa dan emosi. Ngga jarang terlibat dalam konflik, baik sebagai penyebab, peserta, atau pereda. Baik dengan tidak sengaja maupun dengan sengaja bergabung ke dalam konflik tersebut. Menguras emosi, tentu saja. Bertemu dengan bermacam individu dengan karakternya masing-masing. Apalagi bagi seseorang yang merantau ke sebuah kampus yang tidak ada kawan SMAnya disana, tinggal di sebuah asrama dengan sistem yang tidak pernah dirasakan sebelumnya dan berkegiatan dengan mahasiswa lintas jurusan lintas fakultas. Mau adaptasi kok rasanya tidak selesai-selesai hahah.

Setiap orang tentu pada dasarnya adalah baik. Hati kita sudah dari sononya memiliki ketertarikan dan sinyal terhadap kebaikan. Sayangnya yang dikira tak selalu dijumpa. Belum lagi berbagai macam latarbelakang sosial-budaya dan pengalaman individu dalam hidupnya. Tentu respon seseorang terhadap sesuatu akan berbeda. Aku sendiri mulai bisa mengenali (atau mungkin hanya mengkambinghitamkan) penyebab dari sebuah respon yang aku lakukan, entah karena masa lalu, prinsip atau pikiran. Mengenali penyebabnya barangkali bisa membantu kita dalam mengenal diri sendiri. Mendeteksi ketika apa yang kita respon sebenarnya adalah sebuah monster yang menghasilkan emosi negatif. Kemudian memilih berhenti sejenak, mencoba berpikir jernih dan mengontrol monster yang muncul.

Sama pentingnya dengan memahami diri sendiri, memahami orang lain juga menjadi kunci untuk membangun interaksi yang baik. Menyadari bahwa setiap orang memiliki alasannya sendiri dalam memilih sebuah respon. Yang dibangun dari latar belakang masing-masing, dari pengalaman hidup masing-masing, dari prinsip masing-masing. Terkadang suatu respon milik orang lain membuat kita bingung, "Eh, kok bisa ya kayak gitu," atau "Ada ya orang kayak gitu,". Padahal, pengalaman adalah suatu yang unik bagi tiap orang, maka responnya juga akan unik. Sulit untuk memahaminya hingga mengalaminya sendiri. Karenanya, tidak ada respon yang bodoh, respon yang buruk, yang membuat diri sendiri kesal dan membenci orang tersebut.

Tulisan ini adalah sebuah refleksi dari apa yang terjadi di sebuah ruang sidang dini hari. Ketika hampir semua orang dikendalikan oleh monsternya, termasuk aku. Aku pikir hanya beberapa yang masih cukup waras pada saat itu. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bagaimana sebuah forum kekeluargaan bisa menjadi forum saling menyalahkan dan menekan satu sama lain. Padahal pesertanya bukan sembarangan: menteri badan eksekutif, pengurus organisasi ambis, mahasiswa berprestasi, dan tipikal-tipikal sejenisnya.

Aku masih memiliki beberapa memori 2 tahun yang lalu, beberapa gambar dan rekaman. Aku ingat bagaimana respon pertama kelompokku saat mengetahui hasilnya, aku juga masih ingat setelahnya adalah aku bertepuk tangan sarkas, mengucap terimakasih atas hasil diskusi yang sangat lama sampai membuat kita kelelahan, kemudian disusul oleh peserta kelompokku yang lain, emosi negatif saling bersautan. Hingga akhirnya dua orang walk-out. Aku ikut izin keluar forum dengan membawa tas, pandanganku mulai buram dan kesal dengan forum itu. Aku memutuskan untuk pulang. Saat menuju parkiran, aku melihat dua orang yang tadi keluar menangis di depan tangga. Setelah ikut medengarkan tangisannya, aku benar-benar sudah naik motor keluar kampus dengan pikiran buyar. Bukannya menuju rumah, aku mengendarai motorku menjauhi rumah. Perjalananku tanpa tujuan. Hingga akhirnya aku sadar, tidak baik meninggalkan teman-temanku menghadapi forum tidak waras itu tanpa diriku. Akhirnya aku kembali ke forum itu dengan kepala yang mulai waras. Memilih untuk tidak banyak bicara dan mendengarkan teman-temanku masih bersaut-sautan, debat yang penuh emosional di tengah malam.

Forum itu menghasilkan banyak suara tidak rasional, ucapan yang menyakiti hati dan emosi yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan, Namun, pada akhirnya forum itu dimenangkan oleh kelompokku. Sebagai kelompok yang menang, tentu saja aku senang. Kami terselamatkan dari apa-apa yang bisa menjatuhkan harga diri kami. Setelahnya kukira semua sudah usai. Tapi ternyata dampak forum tersebut bagiku masih dirasakan hingga kini. Forum tengah malam itu menjadi monster baru di dalam kepalaku. Menguasai beberapa keputusan yang setelah dipikir-pikir sebenarnya kurang bijak dan tidak rasional, yang barangkali membuat kesal beberapa orang.

Sekian bulan setelah kejadian itu, aku menemui beberapa orang dan saling bertukar perspektif. Setelahnya aku baru mengetahui, prasangka orang ternyata berbeda-beda. Ada seorang peserta netral yang mengganggap diriku yang bertepuk tanggan dan berterimakasih adalah sebuah respon bijak, padahal aku murni sarkas dengan bertepuktangan sangat keras. Salah satu anggota kelompokku yang menurutku paling waras justru mengapresiasi diriku yang izin keluar di tengah forum yang belum usai, katanya lebih baik menenangkan diri dibandingkan bertindak penuh emosional seperti yang lainnya, padahal aku murni kabur karena saking kesalnya dengan orang-orang. Disitu aku menyadari, bahkan prasangkaku terhadap diriku sendiri belum tentu selalu baik. Ada opsi-opsi pikiran alternatif yang lebih baik yang bisa aku pilih, namun aku lebih memilih emosi negatif. Di titik itu, aku kagum dengan mereka.

Akhirnya, aku mendapatkan suatu kesimpulan. There's no reason to hate anyone. Semua orang punya alasan terhadap apa yang dia lakukan. Tugas kita hanyalah berpikir positif terhadapnya, meskipun mungkin itu salah. Aku mungkin bertindak pengecut dengan kabur dari forum, namun temanku lebih memilih bahwa aku ingin menenangkan diri. Aku mungkin sangat tidak sopan dengan memainkan sarkas, tapi temanku lebih memilih untuk mengganggap diriku benar-benar ikhlas berterimakasih dan menghormati kesepakatan forum. Sekarang menjadi tugasku untuk berlatih untuk memilih pikiran alternatif yang lebih baik, berprasangka baik terhadap orang lain, dan menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membeci seseorang.

Komentar